Selasa, 03 November 2009

PENDEKATAN DOKTRIN DAN PERADABAN (Tela'ah Atas Buku Islam Doktrin Dan Peradaban : Karya Nurkholis Majid)



M A S M U K H A H

I. PENDAHULUAN
Nurchalis Majid merupakan salah satu tokoh pembaharu Islam pemikirannya yang kontroversial, rasional, berani dan cenderung bebas mengundang pro dan kontra dikalangan umat Islam. Gagasan-gagasannya merupakan sumbangan yang sangat berarti dalam khazanah kajian ke Islaman. Kehadiran pemikirannya merupakan kebutuhan yang diperlukan dalam upaya untuk membangun bangsa dan agama Islam, menjadikan umat islam sebagai ummatan lilalamin.
Salah satu buah karyanya yang perlu ditela’ah sebagai kajian dalam studi Islam adalah buku “ Islam Doktrin Dan Peradaban Sebuah Tela’ah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan”.
Sehubungan dengan hal tersebut maka tulisan ini berusaha mereangkum beberapa persoalan penting yang berkaitan dengan studi Islam khususnya melalui pendekatan doktrin dan peradaban. Dengan memahami inti pokok pemikiran dalam buku tersebut, penulis berusaha untuk memetakan persoalan-persoalan yang diangkat berkaitan dengan berkaitan dengan studi Islam pendekatan Islam, Doktrin dan Peradaban.
Adapun sistematika pembahasan dalam makalah ini adalah sebagai berikut ; Resume buku yang meliputi pembahasan tauhid dan emansipasi harkat manusia, disiplin ilmu keislaman tradisional, membangun masyarakat etika dan universalisme islam dan kemodernan. Serta Analisa dan kritik, pada bagian akhir kesimpulan.
II. PEMBAHASAN

A. RESUME
1. TAUHID DAN EMANSIPASI HARKAT MANUSIA.
a. Iman dan Tata Nilai Rabbaniyah, Makna dan Tujuan Hidup Manusia.
Pada dasaranya ajaran agama Islam bertujuan untuk menuntun manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat oleh karana itu Islam bersifat kemanusiaan yang tidak berdiri sendiri, tapi memancar dari ketuhanan (hablum minannas yang memancar dari hablum minallah), untuk itu dalam pemahaman agama perlu adanya pendekatan yang tidak hanya bersifat normatif saja, tapi perlu adanya pendekatan lewat budaya (peradaban) dan sejarah yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, atau dapat dikatan bahwa dogma disandingkan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal persaudaraan Islam perlu dibina atas dasar landasan keimanan dan paham kemajemukan/pluralisme. Faham kemajemukan ini ditegakkan dengan prinsip bahwa masing-masing manusia berhak bereksistensi dan menempuh hidup sesuai dengan keyakinannya dan semua manusia adalah memiliki kedudukan yang sama di dunia ini, serta kita harus memiliki pandangan yang optimis dan positif.
Landasan keimanan dapat melahirkan tata nilai berdasar pada ketuhanan Yang Maha Esa, salah satu konsep logis prinsip ketuhanan ialah paham persamaan manusia. Yakni seluruh umat manusia dari segi harkat dan martabatnya adalah sama dan tiap-tiap manusia memiliki kebebasan untuk berkehendak, dengan kebebasan diharapkan manusia menjadi mahluk yang bertanggung jawab atas segala pilihannya. Tauhid menghasilkan bentuk hubungan kemasyarakatan manusia yang menumbuhkan kebebasan menyatakan pikiran dan kesedihaan mendengarkan pendapat. Bedasaarkan konsep iman tersebut maka tujuan hidup dalam Islam adalah adalah bertemu (liqa’) dengan Tuhan Yang Maha Esa dalam ridha-Nya. Untuk mencapai tujuan hidup tersebut maka Allah mengirimkan berita-berita yang dibawa nabi-nabi dalam bentuk kualitas-kualitas moral.
b. Simpul-Simpul Keagamaan
Membahas simpul-simpul keagamaan berupa takwa, tawakkal dan ikhlas menunjukkan berbagai kualitas pribadi seseorang yang beriman, ukuran kesejatian nilai-nilai tersebut adalah kemampuan seseorang dalam mewujudkan tingkah laku sosialnya. Takwa adalah kesadaran akan adanya Tuhan Yang Maha Hadir dalam hidup kita. Tawakkal adalah sikap aktif dan tumbuh hanya dari pribadi yang memahami hidup dengan tepat. Ikhlas adalah bermakna ketulusan kepada keutuhan diri yang paling mendalam, yang mengejawentahkan dalam akhlak mulia, berupa perbuatan baik kepada sesama.

c. Iman dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan serta Kemajemukan.
Konsep Iman dengan mengakui keberadaan Tuhan Yang Maha Esa yang dimiliki oleh umat Islam merupakan suatu bentuk perwujudan dari peradaban yang tertinggi yang dimiliki oleh umat dan dengan konsep tersebut umat Islam pernah mengalami kejayaannya. Konsep keimanan dalam agama Islam tidak bertentangan dengan semangat ilmu pengetahuan dan inilah potensi yang dimiliki oleh umat Islam yang pernah dikembangkan oleh umat terdahulu. Kini umat Islam harus membangun kembali potensi jika ingin mengulang masa kejayaannya.
Selanjutnya, pada dasarnya Islam mengajarkan pluralisme yang bermakna bahwa semua agama memiliki tujuan yang sama yaitu keharusan berserah diri kepada Tuhan YME, oleh karena itu semua agama diberi kebebasan untuk hidup dan dengan resiko yang akan ditanggung sendiri oleh para pengikut agama itu sendiri baik secara pribadi maupun kelompok.

2. DISIPLIN ILMU KEISLAMAN TRADISIONAL
a. Ilmu Kalam
Ilmu kalam yang bersifat logis dan rasionalis, dikemukakan oleh Nurkholis madjid bahwa pada dasarnya cikal bakal ilmu kalam sebenarnya telah dimiliki oleh kaum khawarij dan yang banyak mewarisi ilmu kalam ini adalah kaum mu’tazillah karena kaum khawarij telah binasa sebab terlalu ekstrim, selanjutnya ilmu tersebut tidak menjadi monopoli mu’tazilah, sehingga tumbuh menjadi ilmu kalam asy’ariah, maturidiyah dan lain sebagainya, dan juga adanya ilmu mantiq (logika) yang diajarkan di kalangan pendidikan Islam terutama pesantren.
b. Ilmu Fiqih
Ilmu fiqih merupakan ilmu yang banyak mempengaruhi cara pandang umat muslim dan pemahaman mereka kepada agama Islam, oleh karena itu masyarakat Islam mempunyai ciri orientasi hukum yang kuat, dalam ilmu fiqih terdapat unsur-unsur pokok Islam tentang prinsip kesamaan manusia, dalam bentuk penegasan atas persamaan hukum.
c. Ilmu Tasawuf
Semula tasawuf merupakan gerakan oposisi yang menetang adanya perpecahan di kalangan umat Islam dan rasionalisme yang menjalar di kalangan Islam, namun dalam perkembangannya tasawuf menjadi suatu kegiatan memahami agama melalui pendekatan diri kepada Allah (olah rohani) untuk mensucikan diri dari kehidupan dunia yang terkadang menimbulkan kesan eksentrik dan di luar garis nalar, hal ini sebagai pengalaman mistisisme yang ada pada kaum sufi.
Mistisime jika dilihat dari semangat empirik merupakan pengalaman kaum sufi sebagai pengalaman keagamaan yang sejati, yang hanya dapat dirasakan oleh orang yang mengalaminya sendiri. Sebagai ilustrasi dikatakan oleh sufi bahwa tidak mungkin seseorang merasakan madu jika ia tidak mencicipinya sendiri. Pengalaman mistis tertinggi menghasilkan situasi kejiwaan yang disebut ekstase, yang dalam perbendaharaan sufi disebut sebagai mabuk kepayang oleh minuman kebenaran. Minuman kebenaran tersebut dilukiskan sebagai penghayatan tauhid, sehingga mereka tidak menyadari apapun selain Allah. Oleh sebab itu pengalaman mistis seseorang merupakan relevansi bagi pembentukan pribadi seseorang.
Kehidupan kaum sufi yang pasrah mengesankan kepasifan dan eskapisme, namun sebagai dorongan untuk bermoral/akhlak, akhlak yang dicontohkan oleh kaum sufi adalah merupakan tiruan akhlak Tuhan.

3. MEMBANGUN MASYARAKAT ETIKA
a. Konsep Kosmologis, Antropolgis, dan Hukum dalam Al-Qur’an.
Wujud alam semesta ini sebagai pertanda adanya Sang Maha Pencipta, yakni Alah SWT. Bahwasannya alam semesta ini diciptakan sebagai haqq, tidak bathil, dan tidak dengan main-main, semuanya mengandung hikmah, penuh maksud dan tujuan. Maka manusia harus memanfaatkan alam sebagai sumber pengambilan pelajaran dalam mendekatkan diri kepada Allah dan dalam membina hubungan serasi dengan sesama makhluk.
Konsep antropologis dalam al-Qur’an menyebutkan bahwa manusia sebagai khalifah “duta” Tuhan di bumi, dan ia bertanggung jawab terhadap amanahnya tersebut. Kecondongan alami manusia adalah iman, yakni untuk mengarahkan diri kepada Dzat Pemberi hidup dan ini merupakan suatu titik yang menyatu dengan hakikat dasar manusia. Dengan iman manusia meningkatkan nilai-nilai individualitasnya melalui penajaman rasa tanggung jawab pribadi yang melandasi kesadaran sosial yang mendalam.
Adapun konsep hukum dalam Islam mengandung unsur ketegaran dalam menegakkan keadilan dan sekaligus kelembutan dalam semangat perikemanusiaan, sebagaimana yang termaktub dalam al-Qur’an surat al-Syura: 39-40. Pelaksanaan hukum yang tepat adalah dengan menyadari semangat ajaran-Nya yang menyeluruh yang mendasari akhlak atau etika yang benar dan utuh.
b. Dimensi Kemanusiaan dalam Memahami Ajaran Agama.
Dalam memahami agama sering adanya intervensi manusia, baik yang menyangkut Kalam, Fiqh, Tasawuf, Filsafat, dan seterusnya. Sebagai contoh banyaknya argumen para mutakallimin yang rasionalistik. Dan rasionalistik itu berarti manusiawi, nisbi, dan tidak mutlak. Hal ini mengandung pesan untuk selalu menjaga ukhuwwah Islamiyah.
c. Universalisme Islam dan Kedudukan Bahasa Arab.
Manusia sebagai makhluk individu yang secara pribadi berhubungan langsung dengan Allah, dan selanjutnya hubungan Ilahinya itu dimanifestasikan dalam hubungan Islami yang secara sosial. Ajaran Islam berlaku universal untuk seluruh umat manusia, tidak tergantung pada bahasa, tempat, ataupun masa dan kelompok manusia tertentu. Adapun al-Qur’an yang berbahasa Arab mengandung makna bahwa Allah tidak mengutus seorang Rasul pun kecuali dengan bahasa kaumnya, karena nabi Muhammad SAW adalah seorang Arab, maka mustahil Allah mewahyukan ajaran-Nya dalam bahasa bukan Arab.
d. Nilai Etos Kerja dalam Pandangan Ajaran Islam.
Hendaknya manusia itu beribadah sebagaimana diwajibkan, namun kita juga harus bekerja mencari rizki dari kemurahan Tuhan. Kita harus senantiasa ingat kepada-Nya, yakni memenuhi semua ketentuan etis dan akhlak dalam bekerja itu dengan menginsafi pengawasan dan perhitungan Allah terhadap setiap bentuk kerja kita.
4. UNIVERSALISME ISLAM DAN KEMODERNAN.
a. Universalisme Islam dan Kosmopolitisme Kebudayaan Islam.
Islam menjadi nama sebuah nama agama yang tumbuh karena hakikat dan inti ajaran agama itu, yaitu pasrah kepada Tuhan (al-Islam). Kesadaran hakiki keagamaan ini yang akan memancar dalam wawasan kulturalnya yang berwatak kosmopolit. Budaya kosmopolit adalah budaya yang konsep-konsep dasarnya meliputi, dan diambil dari budaya seluruh umat manusia dan direfleksikan dalam segenap kebudayaan yang berkembang di dunia Islam, baik non material (dunia pemikiran) sampai kepada segi-segi yang material seperti arsitektur dan seni bangunan pada umumnya.
b. Makna Modernitas dan Tantangannya tehadap Iman.
Perkataan “modern” mengisyaratkan suatu penialian tertentu yang cenderung positif (berarti maju dan baik), namun hakikatnya zaman modern itu sesungguhnya bernilai netral saja. Penyebutan yang lebih tepat untuk zaman sekarang adalah “zaman teknik” dan bukan zaman modern, karena adanya peran sentral teknikalisme serta bentuk-bentuk kemasyarakatan yang terkait dengan teknikalisme itu. Dalam menghadapi modernitas hendaknya manusia tetap berpegang teguh pada iman yang murni sehingga ia tetap memiliki pegangan hidup, dan modernitas itu akan menjadi batu penguji keimanan seseorang karena sesungguuhnya seruan iman kepada manusia dalam kitab suci selalu disertai anjuran, dorongan, atau perintah menggunakan akal.
c. Relevansi Ajaran Nilai Etis dalam Al-Qur’an bagi Kehidupan Modern.
Di antara ajaran nilai etis dalam al-Qur’an adalah manusia tidak dibenarkan memutlakkan suatu apapun selain Tuhan Yang Maha Esa, manusia diciptakan sebagai makhluk kebaikan (fitrah), perbuatan baik inilah yang tujuan luhurnya adalah jalan terdekat menuju ridha-Nya. Manusia harus menyadari akan adanya Pengadilan Ilahi kelak di hari kiamat. Dalam menghadapi zaman modern yang serba kompleks ini, diperlukan kerjasama erat banyak pihak, yaitu intelektual, dedikasi, dan kesungguhan.
d. Mengahadapi Dampak Negatif Teknologi
Pada dasarnya menghadapi masalah teknologi dan kemungkinan berbagai akses negatifnya, sama halnya dengan menghadapi masalah hidup yang lainnya, kita harus beriman, beramal saleh dan saling mengingatkan sesama kita tentang yang benar, dan agar kita tabah menghadapi hidup yang takkan lepas dari problema sebagaimana yang dipesankan dalam al-Qur’an surat al-‘Ashr.
e. Islam dan Budaya Lokal.
Akulturasi timbal balik antara Islam dan budaya lokal diakui dalam sautu kaedah ushul fiqh, yakni al-‘adah al-muhakkamah, artinya adat dan kebiasaan suatu masyarakat (budaya lokal) adalah sumber hukum dalam Islam. Budaya lokal yang dapat dijadikan sumber hukum ialah yang sekurang-kurangnya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.
f. Partisipasi Kaum Muslim dalam Sosial Politik..
Partisipasi sosial politik bagi kaum Muslim adalah berakar dalam ajaran agamanya, dan bersangkutan dengan prinsip-prinsip tentang hak dan kewajiban masing-masing orang dalam masyarakat itu. Seorang Muslim harus aktif melibatkan diri dalam usaha bersama mengembangkan masyarakat yang lebih baik. Dan inilah pangkal tolak partisipasi sosial politiknya.

B. ANALISA DAN KRITIK
Dalam buku Islam Doktrin dan Peradaban Islam (Sebuah Tela’ah kritis tentang masalah keimanan, kemanusian dan kemoderenan), terlihat ciri dari pemikiran teologi Nurchalis Majid yang tidak hanya bersifat normatif, atau dengan kata lain tidak hanya menekankan apa yang seharusnya menurut ajaran agama Islam, tetapi dikaitkan dengan segi-segi peradaban Islam, Jika mungkin sebagai pembuktian historis-sosiologis, antropologis, terhadap ajaran Islam.
Pemikiran Nurcholish dalam masalah teologi menekankan pada reorientasi pemahaman keagamaan pada realitas kekinian yang empiris. Pandangan seperti itu tampak dengan jelas ketika ia menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan normatif keagamaan diusahakan dapat dilihat dalam kemungkinan pelaksanaan sosial historisnya. Sebab betapapun tingginya suatu ajaran, namun yang sesungguhnya secara nyata ada dalam kehidupan manusia dan mempengaruhi masyarakat ialah wujud pelaksanaan konkritnya dalam sejarah, yakni kehidupan sosial dan kultural manusia dalam konteks ruang dan waktu.
Penafsiran seperti ini menurut Frans Magniz Suseno, dalam persepsi Nurchalis terdapat konsep teosentrisme perlu disatu padukan dengan antroposentrisme. Manusia menemukan kepribadian yang utuh dan integral hanya jika memusatkan orientasi transendental hidup pada Allah tuhan yang maha Esa. Pemusatan orientasi transendental dalam bingkai antroposentris, melahirkan beberapa implikasi teologi inklusif dan teologi emansipatoris.[1]
Pada bab pertama buku ini jelas terlihat sikap dan semangat inklusivitas ajarannya, melalui konsep tauhid rabbaniyah-nya. Dalam konsep tersebut Nurchalis memandang bahwa tauhid atau percaya kepada tuhan Yang Maha Esa, adalah inti semua agama yang benar. Setiap pengelompokan umat manusia telah pernah mendapatkan ajaran tentang ketuhanan Yang Maha Esa melalui para Rasul Tuhan. Karena itu terdapat titik temu (kalimatun sawa) antara semua agama manusia. Pandangan Nurkhalis tersebut sejalan dengan pendapat Ibnu Taimiyah yang menyatakan bahwa “pangkal agama adalah satu yaitu al islam, meskipun syariatnya bermacam-macam”.[2]
Pengembangan titik temu ini dimungkinkan karena agama atau sikap keberagamaan yang benar, dalam paradigma Nurchalis, adalah sikap berserah diri kepada Tuhan (ber Islam), konsegwensi kepasrahan melahirkan bentuk pengakuan yang tulus bahwa Tuhanlah satu-satunya sumber otoritas yang mutlak. Paradigma inklusivitas beragama juga tampak ketika Nuchalis mengemukakan, bahwa agama Islam adalah agama kemanusiaan yang terbuka, tidak saling merendahkan derajat dan menghina antar umat beragama, karena dengan merendahkan derajat mahluk, tidak mungkin meluhurkan kekuasaan Sang khalik. Iman dan penghormatan manusia tidak saling bersaing melainkan memperkuat. Pernyatan yang sama juga diungkap oleh Masdar Farid, menurutnya terjadinya konflik dalam komunitas beragama, disebabkan agama hanya dipahami pada tatan syari’ah, agama formal, yang sudah mengenal perbedaaan terutama dari sektor bahasa (kitabsuci) dan manusia mediatornya (Rasul dan mufasir).[3] Teologi Inklusif Nurchalis, ingin memberikan formulasi bahwa Islam merupakan agama terbuka (open religion), dengan prinsip bahwa menolak ekslusivisme dan absolutisme, serta memberikan apresiasi yang tinggi terhadap pluralisme. Dengan demikian, paradigma teologi inklusif Nurchalis yang terpenting adalah adanya komitmen pada pluralisme.[4] Prinsip pluralisme agama menurut Nurchalis adalah memberikan kebebasan untuk hidup pada semua agama, dengan resiko yang ditangung oleh para pengikut agama itu masing-masing, baik secara pribadi maupun kelompok.
Selanjutnya melalui pendekatan historis Nurcholish menyatakan bahwa ada kesenjangan antara wilayah normativitas keagamaan dengan historis kehalifaan. Menurutnya Dalam al Qur’an manusia memiliki kedudukan yang tinggi tapi kenyataan historis menunjukkan bahwa manusia kehilangan fitrahnya. Dari kenyataan sejarah inilah, Nurchalis melihat pentingnya teologi emansipatoris, yaitu membebaskan manusia dari segala bentuk kepercayaan politeisme, pemberhalaan diri dan tindakan-tindakan tiranik, yang dapat merendahkan derajat manusia. Menurut Nurchalis problem utama manusia dari proses ikhtiar humanitasnya dalam teologi emansipasipatoris ada tiga yaitu; a) mengemansipasi manusia dari sikap penduaan Tuhan, suatu kepercayaan yang membuka peluang bagi kepercayaan kepada wujud-wujud yang lain yang dianggap bersifat Ilahi. sekalipun ia berpusat pada Tuhan Yang maha Esa. b) mengemansipasi manusia dari belenggu pemberhalaan diri. Sikap pemberhalaan diri dapat terwujud dalam diri seseorang jika ia kemutlakan diri dan pandangan atau pikirannya sendiri. Dengan kata lain menganggap dirinya sendiri yang benar. Sikap ini menimbulkan seseorang menjadi fanatik dan menolak segala sesuatu yang datang dari luar. c) sikap tirani vested interes, menurutnya sikap ini harus dilenyapkan sebab sistim tirani dapat menghancurkan harkat dan martabat manusia.
Di sisilain gagasan Nurchalish tentang kemoderenan dan pembaharuan Islam, adalah dititik beratkan pada gagasan ke untuk mempersatukan dan menghubungkan Islam dengan kemoderenan barat. Umat Islam harus lebih apresiatif terhadap kemoderenan barat dengan beberapa alasan; etoskerja, hasil ilmu, teknologi, dan peradaban guna memberikan inspirasi pada kebangkitan Islam.[5] Selanjutnya konsep kemoderenan dan ke Indonesiaan yang ditawarkan oleh Nurchalis dengan apresiatif dan akomodatif terhadap beberapa persoalan di Indonesia, dengan melihat bahwa konsep “kemoderenan” sebagai suatu keharusan untuk merubah pola dan prilaku muslim Indonesia kearah yang lebih maju, tanpa mengabaikan identitas sebagai bangsa Indonesia yang memiliki budaya dan tradisi yang berbeda dengan barat. Kemoderenan dipahami sebagai kesinambungan antara visi lama dengan visi baru, tradisionalitas dan modernitas bukan sebuah kontradiksi tapi suatu harmoni dalam gerakan sejarah. Kemoderenan dapat dicapai melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang di warnai oleh ruh Islam.
Dalam memberikan gagasan-gagasan kemoderenannya Nurchalis mengapresiasikan pandangan yang berimbang antara khasanah Islam klasik dengan kemoderenan, hal ini dapat ditunjukkan dari beberapa minatnya terhadap studi ilmu fiqih, serta menelusuri kembali warisan lama “khazana intelek Islam” dengan memberikan kritik terhadap pelaksanaannya, hal ini terlihat ketika ia memberikan komentar bahwa Ilmu fikih merupakan salah satu Ilmu yang banyak mempengaruhi cara pandang orang Islam, namun ia memberikan keritikan bahwa ilmu ini memiliki kekurangan yaitu hanya menitik beratkan kepada segi-segi lahiriahnya saja .
Konsep-konsep pemikiran teologi Nurkholis yang bersifat keterbukaan, kritis rasional dan mengutamakan azaz kebebasan sangat relevan untuk dikembangkan, terutama untuk konteks situasi manusia saat ini yang tengah hidup diera globalisasi yang mudah terbawa kepada situasi dan konfrontasi langsung. Karena itu sangat diperlukan sikap-sikap saling pengertian dan menemukan titik kesamaan. Pemikiran Nurchalis juga dapat menolong manusia dalam mengatasi persoalan eliensinya zaman modern ini, yaitu persoalan bagaimana melakukan kembali ciptaan-ciptaan tangannya sendiri dan bagaimana agar manusia tidak terjerembab kedalam praktik penyembahan”berhala modern”, atau selamat dari cengkraman taghut bentuk baru.
Pemikiran Nurchalis dapat meningkatkan intensitas kajian dikalangan umat Islam khususnya diperguruan tinggi. Sehingga secara perlahan memungkinkan berkembangnya visi ke Islaman umat bergeser dari ritual menjadi intelektual dan sufistik. Sosialisasi dan infiltrasi pemikiran Nurchalish telah berhasil membentuk kelompok-kelompok pemikir baru sebagai wujud dari regenerasi dikalangan generasi mudah yang akan melahirkan sosok-sosok cendekiawan muslim baru.
Ide-Ide cemerlang Nurchalis tersebut dengan bahasa yang ilmiah, hanya dapat di pahami dan diterima oleh kalangan kampus dan tidak bisa dikonsumsi oleh masyarakat awam sehingga menimbulkan pemahaman yang kurang tepat dan terjadi pro dan kontra, padahal misi dan esensinya adalah pencerahan.



KESIMPULAN
Pada era globalisasi ini umat Islam perlu memupuk rasa persaudaraan antar sesama dengan didasari atas landasan keimanan dan paham kemajemukan/pluralisme. Faham kemajemukan ini ditegakkan dengan prinsip bahwa masing-masing manusia berhak bereksistensi dan menempuh hidup sesuai dengan keyakinannya. Pandangan kepada manusia hendaknya berdasarkan prinsip optimis dan positif.
Pelaksanan ajaran Islam di Indonesia menuntut pengetahuan dan pemahaman lingkungan Indonesia, baik fisik maupun sosial budaya. Yang pada kenyataannya Indonesia bersifat heterogen dan Islam di Indonesia merupakan pendatang baru, yang sebelumnya pernah berjaya agama-agama Hindu dan Budha kemudian digantikan dengan Kristen. Dalam memahami ajaran agama Islam tidak hanya ditekankan pada aspek normatif dan dogmatis saja tapi hendaknya dikaitkan dengan aspek-aspek peradaban Islam. Ketentuan-ketentuan normatif diusahakan dapat dilihat dalam kemungkinan pelaksanaan historisnya.
Kemodernan merupakan suatu keharusan dan harus disikapi dan dihadapi oleh Muslim dengan keimanan dan aqidah Islamiyah. Semua masalah yang muncul dalam kehidupan modern ini akan teratasi dengan tetap berpegang teguh, menghayati makna, dan melaksanakan simpul-simpul keagamaan seperti takwa, tawakkal dan ikhlas dalam kehidupan sehari-hari.


DAFTAR PUSTAKA


Abu Bakar H. Muhammad, Pemikiran Nurchalis Majid, dalam jurnal Hunafa, no 6 vol 3, 1 April 2000.


Ibnu Taimiyah, Iqtida al Shirat al Mustaqim, Bairut : Dar al Fikr, tt


M. Syafi’i Anwar, Sosiologi Pembaharuan Pemikiran Islam Nurchalis Majid, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. I, 1993


Masdar Farid Masud, Ide Pembaharuan Cak Nu rdimata orang Pesantren, dalam Jurnal ilumul Qur’an, no 1, 1993


Lukman S.Tahir, Studi Islam Interdisipliner, Aplikasi Pendekatan Filsafat, Sosiologi, dan Sejarah, Yogyakarta : 2003.


Nurchalis Majid, Islam doktrin dan Peradaban sebuah telaah kritis tentang masalah keimanan, kemanusiaan dan kemoderenan, Jakarta : Para Madina, 1992.




[1] Lukman S.Tahir, Studi Islam Interdisipliner, Aplikasi Pendekatan Filsafat, Sosiologi, dan Sejarah, (Yogyakarta : 2003), 217.
[2] Ibnu Taimiyah, Iqtida al Shirat al Mustaqim, (Bairut : Dar al Fikr, tt), 454.
[3] Masdar Farid Masud, Ide Pembaharuan Caknurdimata orang Pesantren, dalam Jurnal ilumul Qur’an, no 1, 1993, 28.
[4] M. Syafi’i Anwar, Sosiologi Pembaharuan Pemikiran Islam Nurchalis Majid, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. I, 1993, 47.
[5] Abu Bakar H. Muhammad, Pemikiran Nurchalis Majid, dalam jurnal Hunafa, no 6 vol 3, 1 April 2000, 26.

Senin, 30 Juni 2008

POLIGAMI (TINJAUAN HISTORIS SOSIOLOGIS)

I. PEMBAHASAN
A. Fenomena Poligami.
Fenomena poligami terus bergulir di kalangan masyarakat Indonesia, kasus demi kasus terjadi di lingkungan kita dengan segenap problematikanya, ada diantara mereka yang menyembunyikannnya dari publik dan ada yang sengaja mempropagandakan untuk mencari dukungan publik, seperti pengusaha ayam bakar wongsolo dan presiden masyarakat poligami Indonesia (Mapolin) Puspowardoyo. Konon ia rela menghabiskan beaya Rp 250.000.000/ tahun bahkan sampai membuat poligami awards. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan penghargaan kepada suami istri yang berpoligami serta memprovokasi suami untuk bepoligami. Ia melakukan semua itu berlandaskan pada filosofi bahwa “menikah adalah ibadah”, artinya semakin banyak menikah semakin banyak ibadah. Namun kebenaran filosofi tersebut masih diragukan. Filosofi Wardoyo Tersebut mengandung ironi jika dillihat dari praktek plogami yang di jalaninya sendiri, konono ia sejak dulu merupakan pemburu wanita, pernikahannya yang kedua dilakukan secara diam-diam tanpa sepengetahuan istri pertama dan tidak di catat di KUA, setelah terbongkar rahasianya oleh istri pertama barulah ia meregistrasi pernikahannya.[1] Inikah konsep poligami yang islami?.
Berikutnya adalah kasus yang menimpa artis terkenal Dewi Yul yang tidak bersedia untuk hidup dimadu oleh suaminya Ray Sahetapy, ia memilih untuk mengajukan gugatan perceraian karena tidak siap menerima konsep poligami dalam keluarganya. Penolakan Dewi Yul tersebut mewakili sebagaian suara wanita. Sebenarnya tidak ada wanita yang mau di duakan cintanya, dan ia berani menyuarakan isi hatinya dengan memilih untuk berpisah dengan suaminya. [2]
Wacana poligami kembali mencuat ketika Abdullah Gymnastiar, seorang da’i kondang menikah untuk kedua kalinya dengan seorang janda cantik, beranak tiga, mantan fotomodel yang bernama Rini, ia telah mendapat persetujuan dari istri pertamanya dan ia berani mengakuinya didepan publik. Tampaknya A’agym ingin menampilkan poligami yang disinyalir sebagai poligami Islami. Namun tindakan A’agym tersebut tidak hanya mengundang polemik dan gejolak dimasyarakat bahkan membuat bombardir kirim SMS ke ponsel Presiden. Sampai pada akhirnya Presiden Yudoyono memanggil Menneg Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta, Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, dan Dirjen Binmas Islam Nazzarudin Umar, meminta untuk mererevisi agar cakupan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 tahun 1983 (yang sudah direvisi menjadi PP Nomor 45 tahun 1990 tentang poligami) diperluas tidak hanya berlaku bagi PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan TNI, tapi juga pejabat negara, pejabat pemerintah dan kepada masyarakat luas.[3] Akhir-akhir ini Pembicaraan orang kembali tertuju pada tema poligami ketika Habiburrahman el Shirazi sukses meyisipkan ide-ide poligami dalam novelnya ayat-ayat cinta, yang juga sukses dilayar kaca. Realitas tersebut menunjukkan bahwa isu poligami tetap menarik , dan menuai berbagai reaksi di masyarakat.
B. PEMAHAMAN HADITS
1. Teks Hadits Nabi
Untuk meninjau kembali polemik seputar poligami yang telah terjadi dari dulu hingga sekarang, maka penulis akan mengangkat sebuah teks hadits yang terdapat dalam Sunan at Turmidzi, no. 1047, bab an Nikah ‘an Rasulillah, sub bab Ma Jaa fi ar Rajul Yuslimu wa ‘Indahu ‘Asyru Niswah, hadits ini merupakan dasar agumen bagi mereka yang membolehkan poligami. Hadits tersebut adalah:
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي عَرُوبَةَ عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ غَيْلَانَ بْنَ سَلَمَةَ الثَّقَفِيَّ أَسْلَمَ وَلَهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَأَسْلَمْنَ مَعَهُ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَتَخَيَّرَ أَرْبَعًا مِنْهُنَّ[4]

Artinya : Telah bercerita kepada kami Hannad, telah bercerita kepada kami Abdah dari said bin Abi A’rubah dari Ma’mar dari Zuhri dari Salim bin Abdillah dari ibnu Umar berkata bahwasannya Ghilan bin Salamah Ats tsaqafi masuk Islam, dan ia memiliki 10 orang Istri sebelumnya, bersamanya mereka semua masuk Islam, lalu Nabi menyuruhnya untuk memilih 4 diantaranya. (HR. At Turmudzi).

2. Kritik Historis (otentisitas hadits).
Berdasarkan penelusuran yang telah dilakukan oleh penulis, ditemukan bahwa hadits yang terdapat dalam Sunan at Turmidzi, no. 1047, bab an Nikah ‘an Rasulillah, sub bab Ma Jaa fi ar Rajul Yuslimu wa ‘Indahu ‘Asyru Niswah, diriwayatkan oleh 8 orang rawi termasuk mukharrijnya, yaitu: Perawi I (Ibnu Umar, wafat th. 84 H), Perawi II (Salim bin Abdillah, wafat th. 106 H), Perawi III (Zuhri, Wafat th.124 H), Perawi IV (Ma’mar, wafat th. 154 H), Perawi V (Sa’id bin Abi Arubah, wafat th. 156 H), Perawi VI (Abdah, wafat th. 187 H), Perawi VII (Hannad, wafat th.243 H), Perawi ke VIII (at Turmudzi, wafat th. 279).
Dilihat dari tahun wafat masing-masing rawi ada kemungkinan untuk liqa’ (bertemu secara langsung), dilihat dari hubungan guru dan murid, mereka pernah menjalin hubungan antara guru dan murid. Mengenai derajat ke adil an dan ke tsiqah annya menurut kritikus hadits ditemukan adanya kredibilitas mereka yang sangat baik dalam meriwayatkan hadits. Ibnu Umar adalah sahabat nabi yang adil, Salim bin Abdillah menurut Muhammad bin Sa’id dan ajali termasuk tsiqah, Zuhri menurut Muhammad bin Sa’id adalah tsiqah, Ma’mar menurut an Nasa’i termasuk tsiqah, Said bin Abi Arubah menurut Nasa’i, Muhammad bin said tergolong tsiqah, Abdah menurut ibnu Hambal dan al Ajali tergolong tsiqah, Hannad di pandang tsiqqah oleh Abu Hatim, an Nasa’i dan ibnu Hibban. Dan terakhir adalah at Turmuzi dipandang oleh kritikus hadits sebagai mukharrij yang tsiqah, muttafaq alaih.
Memperhatikan bukti-bukti yang terdapat dalam hadits tersebut, baik fakta tentang ketersambungan sanad, kemungkinan liqa’ yang ditunjukkan dari tahun wafat mereka dan hubungan guru dan murid, serta komentar para kritikus hadits yang berindikasi bahwa mereka termasuk mempunyai kredibilitas yang sangat baik dalam bidang hadits, maka hadits tersebut dapat dikatakan sebagai hadits shahih as sanad.

3. Kajian Linguistik.
Kata poligami berasal dari bahasa Yunani (poly ; banyak, gamein atau gamos ; kawin atau perkawinan). Jadi poligami berarti “ perkawinan yang banyak” atau “perkawinan dengan lebih dari satu orang”, baik pria maupun wanita. Poligami mengandung pengertian poliandri (seorang perempuan yang memiliki lebih dari seorang laki-laki) dan poligini (seorang laki-laki yang memiliki lebih dari seorang perempuan).[5]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “poligami” berarti sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki/mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan “pilogini” berarti sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria memiliki beberapa wanita sebagai istrinya dalam waktu yang bersamaan.[6]
Poligami adalah istilah yang lazim digunakan di masyarakat, sebagai sebutan bagi orang laki-laki yang beristri lebih dari satu. Poligami identik dengan poigini karena sangat erat kaitanya dengan perkawinan dalam hukum Islam yang tidak memperbolehkan poliandri. Dalam bahasa Arab poligami di kenal dengan sebutan Ta’addud az zaujat, berarti berbilangnya istri. Untuk menyamakan istilah dalam pembahasan makalah ini, maka penulis menggunakan istilah poligami.
Dalam konteks hadits diatas dapat kita lihat pada pernyataan bahwa Ghilan bin salamah mempunyai “عَشْرُ نِسْوَةٍ” yang bermakna sepuluh orang istri, setelah masuk Islam Nabi menyuruh “ يَتَخَيَّرَ أَرْبَعًا مِنْهُنَّ “ , kata “يَتَخَيَّرَ “ merupakan bentuk fi’il mudhori’ yang berasal dari kata “َتَخَيَّر “ yang artinya menentukan pilihan. Kata “ تَخَيَّر”, adalah bentuk Tsulatsi mazid dari kata “"خير atau خار"” artinya memilih.[7] Sedangkan kata “ أَرْبَعًا مِنْهُنّ” artinya empat diantara mereka (pr).
Secara linguistik hadits tersebut menjelaskan tentang Ghilan yang mempunyai istri 10 sebelum masuk Islam, kemudian setelah masuk Islam Nabi menyuruh untuk memilih empat orang saja. Artinya Ghilan memiliki istri lebih dari seorang yang dikenal dengan istilah poligami.

4. Kajian Tematis Komprehensip.
Kajian terhadap pemahaman hadits tentang masalah poligami, akan menghasilkan pemahaman yang maksimal, jika menghadirkan beberapa hadits yang berkaitan dengan term-term tersebut. Adapun hadits-hadits semakna yang dijadikan rujukan oleh mereka yang membolehkan poligami adalah sebagai berikut :
ü Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab ath Tallaq, hadits nomor 1914 yang berbunyi :
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ ح و حَدَّثَنَا وَهْبُ بْنُ بَقِيَّةَ أَخْبَرَنَا هُشَيْمٌ عَنْ ابْنِ أَبِي لَيْلَى عَنْ حُمَيْضَةَ بْنِ الشَّمَرْدَلِ عَنْ الْحَارِثِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ مُسَدَّدٌ ابْنِ عُمَيْرَةَ وَقَالَ وَهْبٌ الْأَسَدِيِّ قَالَ أَسْلَمْتُ وَعِنْدِي ثَمَانُ نِسْوَةٍ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا [8]
Artinya : ....Wahab al-Asady berkata: Saya masuk Islam dan memiliki 8 orang istri, maka aku katakan hal itu kepada Nabi, lalu Nabi mengatakan pilihlah 4 diantara mereka. (HR. Abu Dawud).

ü Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam kitab an Nikah, Hadits nomor 1942 yang berbunyi ;
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الدَّوْرَقِيُّ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ عَنْ ابْنِ أَبِي لَيْلَى عَنْ حُمَيْضَةَ بِنْتِ الشَّمَرْدَلِ عَنْ قَيْسِ بْنِ الْحَارِثِ قَالَ أَسْلَمْتُ وَعِنْدِي ثَمَانِ نِسْوَةٍ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا[9].

Artinya: ....Qais bin al Harits berkata: Saya masuk Islam dan memiliki 8 istri, maka saya datangi Nabi SAW. Dan mengatakan hal itu, maka kata beliau pilihlah 4 di antara mereka. (HR. Ibnu Majah).

Hadits lain yang semakna terdapat dalam Sunan Ibnu Majjah dalam kitab an Nikah hadits nomor 1943, Musnad Ahmad dalam kitab musnad al Mukhtasirin min ash Shahabat hadits nomor 4380, 4403, 4785, 5299. Dan dalam al Muwaththa’ karya Imam Malik disebutkan juga hadits yang semakna pada kitab ath Thalaq hadits nomor 1071.
Landasan argument mereka yang membolehkan poligami berikutnya adalah hadits tentang poligami Nabi, seperti yang tertera pada hadits berikut:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا شَبَابَةُ بْنُ سَوَّارٍ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ الْمُغِيرَةِ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ قَالَ كَانَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِسْعُ نِسْوَةٍ فَكَانَ إِذَا قَسَمَ بَيْنَهُنَّ لَا يَنْتَهِي إِلَى الْمَرْأَةِ الْأُولَى إِلَّا فِي تِسْعٍ فَكُنَّ يَجْتَمِعْنَ كُلَّ لَيْلَةٍ فِي بَيْتِ الَّتِي يَأْتِيهَا..... [10]

Artinya: ....Anas berkata : Nabi SAW. Memiliki sembilan istri, maka beliau menggilir istrinya secara berurutan dari yang pertama sampai yang ke sembilan dan seterusnya dan bermalam dirumah yang didatanginya.

Memperhatikan teks hadits diatas dapat di pahami bahwa budaya poligami telah ada sejak dulu, kemudian nabi Muhammad membatasinya (selain beliau sendiri) sebanyak empat orang istri dan memperlakukan mereka secara adil.
Disisi lain Nabi pernah melarang Ali bin Abi Thalib yang akan berpoligami sebagaimana terdapat dalam Hadits riwayat Muslim dalam kitab fadhail as Shahabah, hadits nomor 4482 yang berbunyi:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يُونُسَ وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ كِلَاهُمَا عَنْ اللَّيْثِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ ابْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا لَيْثٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ الْقُرَشِيُّ التَّيْمِيُّ أَنَّ الْمِسْوَرَ بْنَ مَخْرَمَةَ حَدَّثَهُ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَهُوَ يَقُولُ إِنَّ بَنِي هِشَامِ بْنِ الْمُغِيرَةِ اسْتَأْذَنُونِي أَنْ يُنْكِحُوا ابْنَتَهُمْ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ فَلَا آذَنُ لَهُمْ ثُمَّ لَا آذَنُ لَهُمْ ثُمَّ لَا آذَنُ لَهُمْ إِلَّا أَنْ يُحِبَّ ابْنُ أَبِي طَالِبٍ أَنْ يُطَلِّقَ ابْنَتِي وَيَنْكِحَ ابْنَتَهُمْ فَإِنَّمَا ابْنَتِي بَضْعَةٌ مِنِّي يَرِيبُنِي مَا رَابَهَا وَيُؤْذِينِي مَا آذَاهَا.

Artinya : ...Bahwasanya Miswar bin Makhramah bercerita, ia mendengar Rasulullah SAW. Berdiri diatas mimbar seraya berkata: Sesungguhnya keluarga Hisyam bin al Mughirah meminta izinku untuk menikahkan putrinya dengan Ali bin Abi Thalib, Aku tidak izinkan. Aku tidak izinkan. Aku tidak izinkan. Kecuali jika Ali bin Thalib menyukai menceraikan putriku dan menikah dengan putrinya (keluarga Hisyam). Sesunggahnya putriku adalah dara dagingku, menyusahkannya berarti menyusahkanku dan menyakitinya berarti menyakitiku. (HR. Muslim).[11]

Pada hadits lain diriwayatkan oleh Muslim dan Ibnu Majah, dengan redaksi berbeda, Nabi juga menyatakan bahwa Ia melarang poligami bukan berarti mengharam yang halal dan menghalalkan yang haram. Tapi dia tidak ingin mengumpulkan putrinya dengan putri musuh Allah dalam satu tempat.
Penelusuran tentang otentisitas hadits tersebut ditemukan bahwa, secara umum para perawi hadits memiliki kredibilitas yang baik dengan dibuktikan melalui komentar para kritikus hadits yang menyatakan Tsiqah, Shaduq dan Maqbul. Ada ketersambungan sanad mereka dengan di buktikan melalui tahun wafat mereka, yang mengindikasikan bahwa mereka pernah bertemu serta ada hubungan antara guru dan murid. Memperhatikan hal-hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa hadits nabi yang menyatakan larang berpoligami terhadap Ali bin Abi Thalib adalah shahih dan dapat dijadikan sebagai dasar agumentasi dalam masalah poligami. Hadits inilah yang dijadikan rujukan bagi mereka yang menolak poligami.

5. Kajian Konfirmatif
Pembahsan tentang poligami dalam al Qur’an terdapat dalam surat An Nisa’ ayat 3 yang berbunyi:
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? ’Îû 4‘uK»tGu‹ø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/â‘ur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9ω÷ès? ¸oy‰Ïnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ #’oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès? ÇÌÈ

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Menurut Quraisyihab Asbabun nuzul mikro ayat tersebut, berdasarkan keterangan Aisyah, Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud serta at Turmuzi adalah berkaitan dengan sikap pemelihara anak yatim perempuan yang bermaksud menikahi mereka karena kecantikan dan harta mereka, tanpa memberi mahar yang sesuai dan enggan berlaku adil. Secara eksplisit ayat ini menyatakan tuntutan adanya keadilan terhadap anak-anak yatim.[12]
Selanjutnya Quraish Shihab menyatakan bahwa pada dasarnya ayat ini tidak membuat peraturan tentang poligami karena poligami telah di kenal dan dilaksanakan sebelumnya, namun ayat ini hanya berbicara tentang bolehnya poligami dengan persyaratan yang ketat, di ibaratkan sebagai pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh seseorang yang amat sangat membutuhkan dengan syarat yang tidak ringan yaitu harus dapat berbuat adil sebagaiman yang tertera di akhir ayat.[13] Dalam menguraikan bagian akhir ayat tersebut memberikan steresing pada beberapa kata, sebagai berikut : kata “ OçFøÿÅz” yang bisa diartikan takut, juga bisa berarti mengetahui, menunjukkan bahwa siapa yang yakin dan menduga keras tidak akan dapat berbuat adil terhadap istri-istrinya maka mereka tidak diperkenankan untuk melakukan poligami.[14] Kata” اqäÜÅ¡ø)è?” dan “(#qä9ω÷ès?” yang keduanya diterjemahkan adil. Ada ulama yang menganggap sama maknanya dan ada yang membedakannya. ” ÜÅ¡ø)è?” adalah berlaku adil antara dua orang atau lebih, keadilan yang menjadikan keduanya senang. Sedang “#qä9ω÷ès? “ adalah berlaku baik terhadap orang lain maupun diri sendiri, tapi keadilan itu bisa saja tidak menyenangkan salah satu pihak.[15]
Dari pemaparan yang ditawarkan oleh Quraish Shihab, dapat diambil kesimpulan bahwa al Qur’an menawarkan konsep poligami yang sangat ketat sehingga tidak semua orang dapat melakukannya, dan syarat yang paling berat adalah “berlaku adil”. Al Qur’an pun memperingatkan tentang beratnya beban berlaku adil dalam surat an Nisa’ ayat 129 yang berbunyi:
`s9ur (#þqãè‹ÏÜtFó¡n@ br& (#qä9ω÷ès? tû÷üt/ Ïä!$¡ÏiY9$# öqs9ur öNçFô¹tym ( Ÿxsù (#qè=ŠÏJs? ¨@à2 È@øŠyJø9$# $ydrâ‘x‹tGsù Ïps)¯=yèßJø9$$x. 4 bÎ)ur (#qßsÎ=óÁè? (#qà)­Gs?ur cÎ*sù ©!$# tb%x. #Y‘qàÿxî $VJŠÏm§‘ ÇÊËÒÈ
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Konsep keadilan dalam ayat tersebut menurut Quraish Shihab adalah bukan keadilan mutlak tapi keadilan yang masih bisa diupayakan oleh seseorang berupa memperlakukan istri secara baik, dan menerima segala kekurangannya. Sedangkan keadilan yang berhubungan dengan perasaan sulit untuk diwujudkan, namun janganlah hal tersebut membuat laki-laki mengabaikan istri-istri yang lain.[16]
6. Analisis Realistis Historis.
Sejarah poligami sebenarnya telah ada sebelum Islam datang, bangsa-bangsa Yunani, Athena, Cina, Mesir dan lain-lainnya telah mengenal poligami yang tidak terbatas, berapapun istri mereka boleh saja. Agama Yahudi juga memperbolehkan poligami tanpa batas, nabi-nabi yang disebutkan dalam Taurat seperti Nabi Sulaiman mempunyai Istri sebanyak 1000 orang. Dalam Agama kristen juga tidak ada keterangan yang tegas melarang poligami.[17]
Budaya poligami tetap dilestarikan oleh orang–orang Arab Jahiliah, mereka menikahi perempuan kapan saja dan menceraikannya semaunya tanpa adanya peraturan dan perlindungan hukum. [18] tradisi tersebut terlihat dari beberapa sahabat Nabi seperti Ghilan beristri 10 setelah masuk Islam nabi membatasinya, hanya boleh beristri 4 orang saja, (sebagaimana diuraikan dalam hadits sebelumnya). Pembatasan tersebut tampak dalam kasus beberapa sahabat Nabi, sebelum masuk Islam mereka memiliki Istri yang banyak, seperti Ghilan bin Salamah, lalu nabi membatasinya hanya 4 orang istri saja sebagaimana diuraikan dalam hadits sebelumnya.
Tradisi poligami dilingkungan Arab Jahiliah tidak diikuti oleh Nabi Muhammad pada awal pernikahannya dengan Khadijah, ia menjalankan kehidupan monogami selama 25 tahun, setelah Khadijah wafat barulah Nabi melakukan poligami sampai 9 orang istri dan dijalaninya hanya 8 tahun. Pernikahan nabi yang monogami sekian lamanya, dalam kondisi dia berpeluang untuk melakukan poligami memunjukkan bahwa, nabi tidak menggunakan kedudukannya untuk menggaet para perempuan, ia tetap mencintai dan setia terhadap istrinya, kiranya hal inilah yang perlu direnungkan bagi para lelaki yang ingin berpoligami.
Perkawinan Nabi dengan istri-istrinya yang hampir semuanya adalah janda kecuali Aisyah, memiliki latar belakang yang berkaitan erat dengan kondisi sosial saat itu, misalnya pernikahan Nabi dengan Zainab binti jahasy yang telah diceraikan oleh Zaid bin Haritsah seorang budak yang di adopsi oleh Nabi. Nabi ingin mendobrak anggapan masyarakat saat itu yang tidak mau mengawini janda seorang budak yang hina dan tidak punya derajat, serta membatalkan tradisi yang menganggap bahwa anak angkat memiliki status yang sama dengan anak kandung, sehingga orang tua angkat tidak boleh menikah dengan janda anak angkatnya.[19]
Dalam konteks lain Nabi melarang Ali bin Abi Thalib hendak memadu Fatimah dengan Juwairiyah, pernyataan tersebut di publikasikan oleh Nabi. Secara tekstual, larangan poligami terhadap Ali terdapat dua alasan yaitu dapat menyakiti hati Fatimah, dan khawatir terjadi fitnah jika anak Rasul hidup bersama dengan musuh Allah. [20] Dilihat dari konteks hadits, ditemukan bahwa kondisi perekonomian Ali bin Abi Thalib saat itu tidak mendukung (miskin). Hadits tersebut juga memberikan isyarat bahwa dalam pelaksanaan poligami ada dampak-dampak negatif, oleh karena itu pembolehan poligami sangat tergantung dengan kondisi pelakunya.
Berpijak pada pemahaman terhadap teks al Qur’an dan hadits serta memperhatikan asbabun nuzul surat an Nisa’ ayat 3 dan 129 dan realitas historis (asbabul wurud makro) beberapa hadits nabi yang berkaitan dengan masalah poligami, menimbulkan pro dan kontra di kalangan mufassirin maupun fuqaha. Bila ditinjau dari priodesasinya terdapat 2 kategori, yaitu ; ulama klasik dan ulama kontemporer.
Para fuqaha klasik yang terangkum dalam empat imam mazhab, mereka memandang poligami secara tekstual tanpa memperhatikan konteksnya, sehingga menurut pendapat mereka laki-laki boleh berpoligami secara mutlak. Pemahaman tersebut tampak dalam pendapat Imam Syafi’i yang menyatakan bahwa poligami diperbolehkan secara mutlak selama tidak melebihi empat orang, ia tidak menyinggung tentang konsep keadilan maupun hak istri terhadap suami, kecuali kewajiban pengiliran istri-istri, nafkah dan warisan, laki-laki tidak dituntut berlaku adil dalam hal psikhis.[21]
Pemahaman senada juga dikemukakan oleh Syaih Taqiyuddin an Nabhani dalam bukunya “ An Nizham al Ijtima’i fi al Islam” yang dikutib oleh Siddiq al Jawi menyatakan bahwa, poligami dalam Islam adalah suatu perbuatan yang mubah bukan sunnah, bukan pula wajib. Bahkan dalam mengurai konsep adil dalam ayat tersebut dikatakan bahwa, adil bukanlah syarat untuk berpoligami tapi kewajiban yang harus dilakukan seseorang dalam berpoligami.[22]
Argumen yang berbeda dalam menanggapi persoalan poligami dikemukakan oleh Musthafa al Maraghi dalam Tafsir al Maraghi, ia mengedepankan azas monogami dalam perkawinan, karena pada dasarnya kebahagiaan dalam perkawinan itu diperoleh dengan satu orang Istri dan kebahagiaan tersebut harus dipelihara, akan tetapi jika ada hal-hal yang bersifat darurat maka poligami adalah solusinya. Kondisi darurat yang di maksud oleh al Maraghi adalah kondisi istri yang mandul, istri tidak dapat melayani suami, suami yang memiliki libido seksual yang tinggi dan alasan finansial parajanda.[23] Pendapat yang hampir sama juga dikemukakan oleh Al Zamakhsari, ia menyatakan bahwa secara eksplisit ayat 3 surat an Nisa’ memperbolehkan laki-laki kawin lebih dari satu, melihat persyaratan yang sangat sulit diwujudkan, kawin dengan seorang istri adalah diperintahkan.[24]
Berbeda dengan pandangan ulama kontemporer, mereka memahami teks al Qur’an dan al Hadits secara kontekstual. Seperti Syahrur, ia berpendapat bahwa alasan berpologami dalam Islam lebih mengedepankan kepada kepentingan perempuan berupa perlindungan bagi para janda agar tidak terjerumus kedalam perbuatan nista dan menyediakan tempat berlindung bagi anak-anak yatim yang memerlukan kehadiran seorang ayah dan ibu dalam pertumbuhannya. Syahrur menolak alasan poligami yang dikemukakan oleh ulama klasik karena dapat melestarikan budaya patriarkhis dan membuat laki-laki bertindak sewenang-wenang terhadap perempuan.[25] Pendapat serupa juga di kemukakan oleh Asghar Ali enginer, ia memberikan pemahaman bahwa di syari’atkannya poligami dalam Islam merupakan suatu solusi untuk mengangkat derajat wanita dengan memberikan status yang setara dengan laki-laki, berupa hak untuk diperlakukan secara adil, disaat wanita menjadi korban keadilan akibat dominasi laki-laki di dalam masyarakat.[26] Amina Wadud juga mengemukakan bahwa poligami dilaksanakan terkait dengan tangung jawab laki-laki terhadapa pengelolaan harta secara adil yang dimiliki oleh seorang perempuan.[27]
Mencermati konsep yang di paparkan oleh ulama klasik dan kontemporer terdapat titik tekan pemahaman yang tidak sama. Ulama klasik menekankan pemahaman literer, seakan-akan terdapat asumsi bahwa poligami disyariatkan untuk kepentingan para lelaki bukan kepentingan perempuan. Bias dari pemahaman tersebut adalah peluang untuk berpoligami terbuka lebar bagi para lelaki. Pemahaman mereka banyak dipengaruhi oleh situasi sosial masyarakat patriarkhis tempat mereka menyusun buku-buku tersebut. Perubahan zaman dengan paradigma berpikir yang berbeda membuat ulama kontemporer memberikan penafsiran ulang yang berpijak pada pemahaman kontekstual dengan memperhatikan asbabun nuzul makro dan mengkaitkannya dengan kondisi masyarakat modern sehingga menimbulkan pemahaman yang bersifat universal, dengan memperhatikan kepentingan kedua bela pihak terutama kepentingan wanita.
7. Kritik praksis
a. Pandangan poligami secara universal.
Kontoversi masalah poligami tidak akan pernah berhenti, dari kedua kubu saling mencari pembenaran masing-masing, namun yang terpenting dalam menyikapi hal tersebut, harus ada prinsip bahwa dalam memahami nas-nas al Qur’an dan al Hadits hendaknya di pahami secara kontekstual agar makna yang terkandung dalam keduanya dapat relevan dengan perkembangan zaman.
Reinterpretasi terhadap nas-nas al Qur’an maupun al Hadits telah dilakukan oleh negara Tunisia dengan merevisi undang-undang hukum keluarga khususnya masalah poligami, negara ini melarang setiap laki-laki untuk berpoligami dengan acaman hukuman penjarah maupun denda.[28]
Penerapan undang - undang tersebut, jika kita cermati tidak menyimpang dengan maqasid as Syar’i surat an Nisa’ ayat 3 dan hadits nabi tentang sahabat Ghilan dan Qaish. Statemen tersebut didasarkan pada pandangan bahwa pembolehan poligami dalam al Qur’an dan al Hadits terkait dengan konteks karakter hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat pra Islam, yang memandang rendah derajat perempuan, Islam datang memberikan aturan dan batasan-batasan untuk mengangkat derajat wanita, mereka hanya di ijinkan menikah sebanyak 4 orang istri saja. Batasan ini secara sosiologis dapat memberikan tekanan psikologis bagi mereka yang gemar kawin. Dengan kata lain poligami merupakan aturan pembatasan. Pembatasan tersebut dilakukan oleh Al Qur’an karena kondisi masyarakat yang belum siap menerima aturan untuk bermonogami. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ada prinsip gradualisme (at tadarruj) dalam penetapan hukum poligami, sebagai mana peraturan hukum waris dalam Islam.
Prinsip gradualisme tampak dalam pendapat Muhammad Abdu, ia menyatakan bahwa poligami dalam Islam merupakan peraturan yang mempersempit (membatasi) sebuah perkawinan dan hanya diperbolehkan dengan syarat yang ketat, dalam prakteknya terdapat dampak negatif yang tidak diinginkan oleh agama.[29] Konsekwensi dari prinsip at tadarruj adalah jika masyarakat telah siap bermonogami maka sebaiknya poligami tidak dilaksanakan.

b. Konteks Ke Indonesiaan
Konsep hukum perkawinan di Indonesia secara implisit menganut prinsip monogami, hal ini dibuktikan dengan adanya aturan berpoligami yang sangat ketat. Peraturan tersebut tertera dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, disebutkan tata aturan poligami, yaitu 1) harus ada izin dari pengadilan dan izin itu akan keluar jika didasarkan pada salah satu dari tiga alasan: a. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. istri tidak dapat melahirkan keturunan; 2) dalam pasal 5 disebutkan, untuk mengajukan permohonan pengadilan harus memenuhi syarat: a. adanya persetujuan dari istri/istri-istri; b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka; c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka. Bahkan untuk pegawai negeri sipil ada aturan tersendiri sebagaimana dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983, yang antara lain berisi, jika PNS hendak poligami, dipersyaratkan ada izin dari atasan dan juga memberi ancaman sanksi bila melakukan poligami liar. PP tersebut kemudian disempurnakan menjadi PP Nomor 45 Tahun 1990, yang antara lain berisi ketidak bolehan perempuan PNS menjadi istri kedua. Jika ini terjadi, PNS tersebut akan diberi sanksi berupa pemecatan.[30]
Dalam tatanan praktis masih banyak penyimpangan-penyimpangan terhadap peraturan undang-undang tersebut, hal ini terlihat dari banyaknya poligami yang dilakukan secara diam-diam dan kebanyakan tidak dicatatkan di KUA, sehingga pihak wanita yang menanggung akibat jika terjadi hal-hal yang tidak di inginkan. Bahkan pada banyak kasus poligami dilakukan sebagai tindak lanjut dari perselingkuhan.
Praktek poligami yang tidak sesuai dengan undang-undang di Indonesia dan klaim syah menurut agama merupakan imlikasi dari pemahaman tesk secara literer yang menganggap bahwa secara normatif poligami diperbolehkan oleh agama tanpa memandang sisi yang lain. Kenyataan ini juga didukung oleh pola pikir yang dikotomis, yang membedakan antara peraturan pemerintah dengan peraturan agama. Padahal sebenarnya pemerintah berupaya untuk melindungi warganya dari tindakan-tindakan yang dapat mengancam keamanan dan masa depan, tujuan tersebut tidak menyimpang dari ajaran agama, jadi jelas ada keterkaitan yang sangan erat antara hukum agama dan hukum pemerintah.
Adanya Undang-undang perkawinan di Indonesia merupakan perwujudan niat baik pemerintah dalam mengatur masalah hukum keluarga namun peraturan tersebut masih mengedepankan sifat patriarkhis. seperti pada persyaratan bolehnya poligami karena istri mendapat cacat badan dan sakit yang tidak dapat disembuhkan. Kondisi istri yang sakit sangat membutuhkan perhatian suami, Jika suaminya menikah lagi, merupakan siksaan batin bagi wanita, bagaikan pepatah sudah jatuh ditimpa tangga. Persyaratan berikutnya adalah kondisi istri yang mandul, persyaratan tersebut sebenarnya membuat posisi wanita secara sosial kemasyarakatan menjadi pihak yang dipersalahkan, padahal kondisi tersebut tidak dikehendakinya, dan ada solusi lain yaitu dengan jalan mengangkat anak. Kedua pesyaratan tersebut menunjukkan sisi kelemahan istri, yang tidak diinginkannya. Jika kondisi tersebut dijadikan alasan maka terdapat prilaku diskriminatif dan tidak adil terhadap perempuan. Lantas, bagaimana jika yang menderita adalah suami?. Pada kenyataannya dalam masyarakat Indonesia yang lazim dilakukan adalah istri dituntut untuk bersabar mendampingi suami tanpa ada keluhan apapun.
Kedua alasan tersebut belum diketemukan oleh penulis dalam mengkaji teks-teks al Qur’an maupun al Hadits, baik kajian secara literer maupun konteks sosial historisnya. Bahkan dalam sejarah poligami Rasul diketemukan secara implisit bahwa motif yang di kedepankan adalah perlindungan sosial bagi para janda bukan alasan reproduksi atau pemenuhan kebutuhan biologis. Jika poligami Rasul beralasan ketidak berdayaan istri dan alasan reproduksi, maka Rasul tidak akan mengawini janda-janda yang sudah tidak produktif kecuali Aisyah, semua istri nabi tidak menurunkan keturunan kecuali Maria al Qibtia dan putranya meninggal masih kecil. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Amina Wadud dalam bukunya Wanita di dalam al Qur’an, ia mengatakan bahwa legitimasi pembolehan poligami dengan alasan reproduksi dan faktor biologis tidak pernah terkafer sama sekali dalam al Qur’an.[31]
Harus mendapat izin istri adalah salah satu syarat lelaki untuk berpoligami. Izin tersebut perlu karena istri merupakan bagian kehidupan suami, jika suami akan menghadirkan wanita lain, maka istri perlu diminta kesediaannya, karena istri juga akan menerima akibat dari apa yang dilakukan oleh suaminya. Jika kita lihat dalam hadits riwayat Muslim dalam kitab fadhail as Shahabah, hadits nomor 4482, Nabi tidak mengizinkan Ali bin Abi Thalib untuk berpoligami, Ali tidak melakukannya (walaupun ada sebagaian riwayat menyatakan bahwa Ali berpoligami setelah Rasul meningal dunia), maka secara implisit hadits tersebut mengajarkan bahwa pertimbangan keluarga sangat diperlukan, “mafhum mukhalafahnya” keluarga saja di minta pertimbangannya apalagi istri yang akan menanggung beban terhadap segala resiko rumah tangganya.
Salah satu komponen pentingnya dalam pelaksanaan poligami adalah adalah Suami dapat berbuat adil. Konsep adil dalam berpoligami menurut para ulama terdahulu adalah berkaitan dengan masalah materi, sebagai mana di kemukakan oleh Sayid Syabiq bahwa keadilah dalam berpoligami adalah keadilan dhohir seperti dalam pemberian nafkah, pakaian, dan tempat tinggal, bukan keadilan batin karena keadilan batin susah dilakukan.[32] Pendapat senada juga dikemukakan oleh Musthafa al Maraghi ia menyatakan bahwa, keadilan yang dimaksud adalah keadilan pada hal-hal yang masih mampu di lakukan oleh manusia, seperti adil dalam pembagian nafkah lahir, sedangkan hal-hal yang diluar kemampuan manusia seperti adanya kecenderungan terhadap salah satu istrinya tidak diharuskan. Hal itu merupakan fitrah manusia yang sukar untuk dihindari, asalkan tidak melampaui batas yang menyebabkan salah satu dari istrinya terlantar.
Konsep keadilan yang ditawarkan oleh ulama klasik perlu ditinjau kembali, karena mereka masih memandang keadilan dalam berpoligami hanya bersifat materi dan bukan bersifat psikologis. Keadilan bersifat materi tentunya mudah dilakukan oleh siapapun. Kemudahan tersebut membuka peluang yang sangat luas bagi laki-laki untuk melakukan poligami. Di sisilain, dalam kehidupan berumahtangga tidak hanya diperlukan aspek materi saja tapi aspek batin (psikologis) juga penting. Adanya ketidak adilan seorang suami secara psikologis, dapat memicu benih-beni kecemburuan diantara para istri sehingga berakibat tidak bahagia dalam kehidupan berumah tangga. Jadi dapat dikatakan bahwa keadilan secara lahiriah saja belum cukup karena fitrah manusia menuntut keadilan lahir dan batin. Konsep adil dari sisi materi saja tanpa keadilan psikologis yang sebenarnya juga di inginkan oleh perempuan, berarti ada salah satu hak perempuan yang di abaikan.
Paradigma ulama klasik yang cenderung patriarkhis dalam memaparkan konsep keadilan tampaknya kurang relevan jika di terapkan dieragolobalisasi. Beberapa cendekiawan muslim kontemporer berusaha merekonstruksi kembali konsep tersebut dengan memperhatikan maqasid as syar’i dan memperhatikan hak wanita secara keseluruhan. Ali Ashgar misalnya, Konsep keadilan dalam berpoligami menurutnya terdapat tiga tingkatan yaitu jaminan keadilan dalam penggunaan harta kekayaan anak yatim dan janda secara layak, jaminan keadilan bagi semua istri dalam segi materi dan jaminan memberikan kasih sayang secara adil.[33] Konsep keadilan menurut Syahrur lebih menekankan kepada keadilan terhadap anak-anak dari pasangan poligami terutama anak-anak yatim yang dibawah oleh janda yang dinikahinya. Pendapat Syahrur tersebut bersandarkan pada asbabun nuzul surat an Nisa’ ayat 3.
Membandingkan konsep keadilan yang dipaparkan oleh ulama klasik dan kontemporer tampaknya ada pergeseran sudut pandang, ulama klasik hanya menitik beratkan keadilan pada segi materi yang sangat menguntungkan pihak laki-laki, sedangkan pada ulama kontemporer menekankan keadilan kedua bela pihak, kiranya pendapat ulama kontemporerlah yang cocok untuk diterapkan diera sekarang, pemahaman mereka dapat mengapresiasikan konsep kesetaraan antara laki-laki dan perempuan yang mulai diperkenalkan dalam hadits nabi dan al Qur’an.

c. Kendala dan solusi.
Meskipun secara normatif dan historis, poligami tidak bisa di pisahkan dari kehidupan manusia, namun dalam pelaksanaannya banyak kendala-kendala yang ditemui, diantaranya:
1. Sebagai akibat ketidak adilan suami dalam berpoligami mengakibatkan permusuhan diantara para istri sehingga suasana rumah tangga tidak harmonis.
2. Perselisihan antara istri yang dimadu sering merambat kepada anak-anak mereka sehingga kebahagiaan rumah tangga jadi terganggu.
3. Adanya tekanan psikologis terhadap istri pertama yang merasa di duakan cintanya, dan tekanan secara sosial, karena asumsi masyarakat yang selalu mempersalahkan pihak perempuan sebagai biang keladi dari praktek poligami.
4. Adanya anak-anak yang terlantar jika laki-laki yang berpoligami tidak bertanggung jawab.[34]
Secara garis besar dampak negatif poligami bersumber dari sulitnya merealisasikan keadilan diantara para istri sehingga dapat menimbulkan dampak sulitnya membina masyarakat yang tentram dan damai, yang berawal dari terbinanya keluarga sakinah. Keluarga bahagia dan harmonis hanya tercapai, dalam kehidupan suami istri yang selalu membina rasa kasih sayang dan saling menghormati pasangannya tanpa hadirnya orang ketiga. Sebagaimana ungkapan kata bijak القلب خبان ولا ف الوجود ربان" ليس ف” (tidak ada di dalam hati dua cinta, sebagaimana tidak ada dalam wujud dua tuhan). Ketidak adilan tidak perlu dipersoalkan jika memiliki hanya seorang istri. Bagi para suami yang mempunyai problem hendaklah menahan hawanfsunya untuk kembali kepada hati nurani sehingga tidak menjadikan diperbolehkannya poligami dalam Islam sebagai suatu legalitas hawa nafsu karena dianggap sebagai perintah yang bersifat normatif tanpa memperhatikan konteksnya. Pensyariatan poligami dalam Islam hendaknya dipahami sebagai peraturan yang bersifat kondisional dan sangat tergantung kepada kondisi sosial pelakunya serta peluang untuk melakukanya sangat sempit, dapat di ibaratkan bahwa pintu poligami telah terkunci tapi kuncinya jangan dibuang sehingga suatu saat jika diperlukan dapat dibuka kembali.
[1] Nurul Ilmi Idrus, Perempuan dan Hukum ..., 236
[2] Ibid, 238
[3] http://en.wikipedia.org/wiki/Polygamy/Legal_situation.
[4] Sunan at Turmidzi, no. 1047, Kitab an Nikah, dalam CD ROM Mausu’ah al Hadits as Syarif al Kutub at Tis’ah.
[5] Ensiklopedi Islam V, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeven, 2001), 306.
[6] Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke II, (Jakarta: Balai Pustaka), 779.
[7] Lihat, Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, ( Beirut : Librairie du Liban ), 266.
[8] Sunan Abu Dawud, kitab ath Tallaq, hadits nomor 1914, dalam CD Room Mausu’ah al Hadits as Syarif al Kutub at Tis’ah.

[9] Sunan Ibnu Majah, kitab an Nikah, Hadits nomor 1942, dalam CD Room Mausu’ah al Hadits as Syarif al Kutub at Tis’ah.

[10] Shahih Muslim, kitab radha’ah hadits nomor 2656, dalam dalam CD Room Mausu’ah al Hadits as Syarif al Kutub at Tis’ah.

[11] Shahih Muslim, kitab fadhail as Shahabah hadits nomor 4482, dalam CD Room Mausu’ah al Hadits as Syarif al Kutub at Tis’ah
[12] Quraish Shihab, Tafsir al Misbah vol 2, (Jakarta: Lentera hati, 2004), 340-341.
[13] Ibid.,341.
[14] Quraish Shihab, Perempuan dari cinta sampai seks, Dari nikah Mut’ah sampai nikah sunnah, dari bias lama sampai bias baru, (Jakarta : Lentera Hati, 2006), 163
[15] Quraish Shihab, Tafsir al Misbah, 338.
[16]Ibid., 606.
[17] Musthafa as Siba’y, Wanita diantara Hukum Islam dan Perundang-Undangan, terj. Chadijah Nasution, (Jakarta : Bulan Bintang, tt), 108.
[18] Lihat, Ali Ash Shabuni, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, Jilid I. terj.Muammal Hamidi, (Surabaya : Bina Ilmu), 364.
[19] Lihat, Ali Ash Shabuni, Tafsir Ayat-ayat Ahkam Jus II, 422.
[20] Syarah Shahih Muslim dalam CD Room Mausu’ah al Hadits as Syarif al Kutub at Tis’ah.

[21] Umul Bararah, Bias Gender dalam Pemahaman Islam, (Yogyakarta : Gama Media, 2002), 70.
[22] Sidiq Al Jawi, Mendudukkan Poligami Dalam Islam, Tinjauan Historis, Politis dan Normatif, dalam http:www. Khilafah.org. 02 januari 2007.
[23] Lihat, Ahmad Mustafah al Maroghi, Tafsir al Maraghi Juz IV, (Bairut : Dar al Fikr, 1974), 181.
[24] Abu Qashim Mahmud Ibnu Umar az Zamakhsyari, Al Kasysyaf an Haqaiq at Tanzil wa Uyun al Aqawil fi Wujuh al Tawil, (Bairut : Dar Al Fikr), 1984.
[25] Muhammad Syahrur, Metodologi Fikih Islam Kontemporer (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004), 429-430.
[26] Asghar Ali Enginer, Matinya Perempuan Transformasi al Qur’an, Perempuan dan Masyarakat Modern, (Yogyakarta : IRCiSod), 2003, 134
[27] Amina wadud Muhsin, Wanita dalam al Qur’an (Bandung : Pustaka, 1992), 111.
[28] Nasr Hamid Abu Zayd, Dekonstruksi gender Kritik Wacana Perempuan dalam Islam, terj, (Yogyakarta: SAMHA, 2003), 265.
[29] Chadijah Nasution, Wanita Diantara Hukum Islam Dan Perundang Undangan, 149.
[30] Rumadi, dalam http. www. Wahid institute .org.
[31] Amina Wadud Muhsin, Wanita Di Dalam al Qur’an, terj. Fajar Bahtiar (Bandung : Pustaka, 1994), 112-113.
[32] Syayid Syabiq, Fiqhu Sunnah, jus VI (Kuwait : Darul Bayan), 229.
[33] Ashghar, Matinya Perempuan, 144.
[34] Chadijah Nasution, Wanita diantara Hukum Islam, 125.