M A S M U K H A H
I. PENDAHULUAN
Nurchalis Majid merupakan salah satu tokoh pembaharu Islam pemikirannya yang kontroversial, rasional, berani dan cenderung bebas mengundang pro dan kontra dikalangan umat Islam. Gagasan-gagasannya merupakan sumbangan yang sangat berarti dalam khazanah kajian ke Islaman. Kehadiran pemikirannya merupakan kebutuhan yang diperlukan dalam upaya untuk membangun bangsa dan agama Islam, menjadikan umat islam sebagai ummatan lilalamin.
Salah satu buah karyanya yang perlu ditela’ah sebagai kajian dalam studi Islam adalah buku “ Islam Doktrin Dan Peradaban Sebuah Tela’ah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan”.
Sehubungan dengan hal tersebut maka tulisan ini berusaha mereangkum beberapa persoalan penting yang berkaitan dengan studi Islam khususnya melalui pendekatan doktrin dan peradaban. Dengan memahami inti pokok pemikiran dalam buku tersebut, penulis berusaha untuk memetakan persoalan-persoalan yang diangkat berkaitan dengan berkaitan dengan studi Islam pendekatan Islam, Doktrin dan Peradaban.
Adapun sistematika pembahasan dalam makalah ini adalah sebagai berikut ; Resume buku yang meliputi pembahasan tauhid dan emansipasi harkat manusia, disiplin ilmu keislaman tradisional, membangun masyarakat etika dan universalisme islam dan kemodernan. Serta Analisa dan kritik, pada bagian akhir kesimpulan.
II. PEMBAHASAN
A. RESUME
1. TAUHID DAN EMANSIPASI HARKAT MANUSIA.
a. Iman dan Tata Nilai Rabbaniyah, Makna dan Tujuan Hidup Manusia.
Pada dasaranya ajaran agama Islam bertujuan untuk menuntun manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat oleh karana itu Islam bersifat kemanusiaan yang tidak berdiri sendiri, tapi memancar dari ketuhanan (hablum minannas yang memancar dari hablum minallah), untuk itu dalam pemahaman agama perlu adanya pendekatan yang tidak hanya bersifat normatif saja, tapi perlu adanya pendekatan lewat budaya (peradaban) dan sejarah yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, atau dapat dikatan bahwa dogma disandingkan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal persaudaraan Islam perlu dibina atas dasar landasan keimanan dan paham kemajemukan/pluralisme. Faham kemajemukan ini ditegakkan dengan prinsip bahwa masing-masing manusia berhak bereksistensi dan menempuh hidup sesuai dengan keyakinannya dan semua manusia adalah memiliki kedudukan yang sama di dunia ini, serta kita harus memiliki pandangan yang optimis dan positif.
Landasan keimanan dapat melahirkan tata nilai berdasar pada ketuhanan Yang Maha Esa, salah satu konsep logis prinsip ketuhanan ialah paham persamaan manusia. Yakni seluruh umat manusia dari segi harkat dan martabatnya adalah sama dan tiap-tiap manusia memiliki kebebasan untuk berkehendak, dengan kebebasan diharapkan manusia menjadi mahluk yang bertanggung jawab atas segala pilihannya. Tauhid menghasilkan bentuk hubungan kemasyarakatan manusia yang menumbuhkan kebebasan menyatakan pikiran dan kesedihaan mendengarkan pendapat. Bedasaarkan konsep iman tersebut maka tujuan hidup dalam Islam adalah adalah bertemu (liqa’) dengan Tuhan Yang Maha Esa dalam ridha-Nya. Untuk mencapai tujuan hidup tersebut maka Allah mengirimkan berita-berita yang dibawa nabi-nabi dalam bentuk kualitas-kualitas moral.
b. Simpul-Simpul Keagamaan
Membahas simpul-simpul keagamaan berupa takwa, tawakkal dan ikhlas menunjukkan berbagai kualitas pribadi seseorang yang beriman, ukuran kesejatian nilai-nilai tersebut adalah kemampuan seseorang dalam mewujudkan tingkah laku sosialnya. Takwa adalah kesadaran akan adanya Tuhan Yang Maha Hadir dalam hidup kita. Tawakkal adalah sikap aktif dan tumbuh hanya dari pribadi yang memahami hidup dengan tepat. Ikhlas adalah bermakna ketulusan kepada keutuhan diri yang paling mendalam, yang mengejawentahkan dalam akhlak mulia, berupa perbuatan baik kepada sesama.
c. Iman dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan serta Kemajemukan.
Konsep Iman dengan mengakui keberadaan Tuhan Yang Maha Esa yang dimiliki oleh umat Islam merupakan suatu bentuk perwujudan dari peradaban yang tertinggi yang dimiliki oleh umat dan dengan konsep tersebut umat Islam pernah mengalami kejayaannya. Konsep keimanan dalam agama Islam tidak bertentangan dengan semangat ilmu pengetahuan dan inilah potensi yang dimiliki oleh umat Islam yang pernah dikembangkan oleh umat terdahulu. Kini umat Islam harus membangun kembali potensi jika ingin mengulang masa kejayaannya.
Selanjutnya, pada dasarnya Islam mengajarkan pluralisme yang bermakna bahwa semua agama memiliki tujuan yang sama yaitu keharusan berserah diri kepada Tuhan YME, oleh karena itu semua agama diberi kebebasan untuk hidup dan dengan resiko yang akan ditanggung sendiri oleh para pengikut agama itu sendiri baik secara pribadi maupun kelompok.
2. DISIPLIN ILMU KEISLAMAN TRADISIONAL
a. Ilmu Kalam
Ilmu kalam yang bersifat logis dan rasionalis, dikemukakan oleh Nurkholis madjid bahwa pada dasarnya cikal bakal ilmu kalam sebenarnya telah dimiliki oleh kaum khawarij dan yang banyak mewarisi ilmu kalam ini adalah kaum mu’tazillah karena kaum khawarij telah binasa sebab terlalu ekstrim, selanjutnya ilmu tersebut tidak menjadi monopoli mu’tazilah, sehingga tumbuh menjadi ilmu kalam asy’ariah, maturidiyah dan lain sebagainya, dan juga adanya ilmu mantiq (logika) yang diajarkan di kalangan pendidikan Islam terutama pesantren.
b. Ilmu Fiqih
Ilmu fiqih merupakan ilmu yang banyak mempengaruhi cara pandang umat muslim dan pemahaman mereka kepada agama Islam, oleh karena itu masyarakat Islam mempunyai ciri orientasi hukum yang kuat, dalam ilmu fiqih terdapat unsur-unsur pokok Islam tentang prinsip kesamaan manusia, dalam bentuk penegasan atas persamaan hukum.
c. Ilmu Tasawuf
Semula tasawuf merupakan gerakan oposisi yang menetang adanya perpecahan di kalangan umat Islam dan rasionalisme yang menjalar di kalangan Islam, namun dalam perkembangannya tasawuf menjadi suatu kegiatan memahami agama melalui pendekatan diri kepada Allah (olah rohani) untuk mensucikan diri dari kehidupan dunia yang terkadang menimbulkan kesan eksentrik dan di luar garis nalar, hal ini sebagai pengalaman mistisisme yang ada pada kaum sufi.
Mistisime jika dilihat dari semangat empirik merupakan pengalaman kaum sufi sebagai pengalaman keagamaan yang sejati, yang hanya dapat dirasakan oleh orang yang mengalaminya sendiri. Sebagai ilustrasi dikatakan oleh sufi bahwa tidak mungkin seseorang merasakan madu jika ia tidak mencicipinya sendiri. Pengalaman mistis tertinggi menghasilkan situasi kejiwaan yang disebut ekstase, yang dalam perbendaharaan sufi disebut sebagai mabuk kepayang oleh minuman kebenaran. Minuman kebenaran tersebut dilukiskan sebagai penghayatan tauhid, sehingga mereka tidak menyadari apapun selain Allah. Oleh sebab itu pengalaman mistis seseorang merupakan relevansi bagi pembentukan pribadi seseorang.
Kehidupan kaum sufi yang pasrah mengesankan kepasifan dan eskapisme, namun sebagai dorongan untuk bermoral/akhlak, akhlak yang dicontohkan oleh kaum sufi adalah merupakan tiruan akhlak Tuhan.
3. MEMBANGUN MASYARAKAT ETIKA
a. Konsep Kosmologis, Antropolgis, dan Hukum dalam Al-Qur’an.
Wujud alam semesta ini sebagai pertanda adanya Sang Maha Pencipta, yakni Alah SWT. Bahwasannya alam semesta ini diciptakan sebagai haqq, tidak bathil, dan tidak dengan main-main, semuanya mengandung hikmah, penuh maksud dan tujuan. Maka manusia harus memanfaatkan alam sebagai sumber pengambilan pelajaran dalam mendekatkan diri kepada Allah dan dalam membina hubungan serasi dengan sesama makhluk.
Konsep antropologis dalam al-Qur’an menyebutkan bahwa manusia sebagai khalifah “duta” Tuhan di bumi, dan ia bertanggung jawab terhadap amanahnya tersebut. Kecondongan alami manusia adalah iman, yakni untuk mengarahkan diri kepada Dzat Pemberi hidup dan ini merupakan suatu titik yang menyatu dengan hakikat dasar manusia. Dengan iman manusia meningkatkan nilai-nilai individualitasnya melalui penajaman rasa tanggung jawab pribadi yang melandasi kesadaran sosial yang mendalam.
Adapun konsep hukum dalam Islam mengandung unsur ketegaran dalam menegakkan keadilan dan sekaligus kelembutan dalam semangat perikemanusiaan, sebagaimana yang termaktub dalam al-Qur’an surat al-Syura: 39-40. Pelaksanaan hukum yang tepat adalah dengan menyadari semangat ajaran-Nya yang menyeluruh yang mendasari akhlak atau etika yang benar dan utuh.
b. Dimensi Kemanusiaan dalam Memahami Ajaran Agama.
Dalam memahami agama sering adanya intervensi manusia, baik yang menyangkut Kalam, Fiqh, Tasawuf, Filsafat, dan seterusnya. Sebagai contoh banyaknya argumen para mutakallimin yang rasionalistik. Dan rasionalistik itu berarti manusiawi, nisbi, dan tidak mutlak. Hal ini mengandung pesan untuk selalu menjaga ukhuwwah Islamiyah.
c. Universalisme Islam dan Kedudukan Bahasa Arab.
Manusia sebagai makhluk individu yang secara pribadi berhubungan langsung dengan Allah, dan selanjutnya hubungan Ilahinya itu dimanifestasikan dalam hubungan Islami yang secara sosial. Ajaran Islam berlaku universal untuk seluruh umat manusia, tidak tergantung pada bahasa, tempat, ataupun masa dan kelompok manusia tertentu. Adapun al-Qur’an yang berbahasa Arab mengandung makna bahwa Allah tidak mengutus seorang Rasul pun kecuali dengan bahasa kaumnya, karena nabi Muhammad SAW adalah seorang Arab, maka mustahil Allah mewahyukan ajaran-Nya dalam bahasa bukan Arab.
d. Nilai Etos Kerja dalam Pandangan Ajaran Islam.
Hendaknya manusia itu beribadah sebagaimana diwajibkan, namun kita juga harus bekerja mencari rizki dari kemurahan Tuhan. Kita harus senantiasa ingat kepada-Nya, yakni memenuhi semua ketentuan etis dan akhlak dalam bekerja itu dengan menginsafi pengawasan dan perhitungan Allah terhadap setiap bentuk kerja kita.
4. UNIVERSALISME ISLAM DAN KEMODERNAN.
a. Universalisme Islam dan Kosmopolitisme Kebudayaan Islam.
Islam menjadi nama sebuah nama agama yang tumbuh karena hakikat dan inti ajaran agama itu, yaitu pasrah kepada Tuhan (al-Islam). Kesadaran hakiki keagamaan ini yang akan memancar dalam wawasan kulturalnya yang berwatak kosmopolit. Budaya kosmopolit adalah budaya yang konsep-konsep dasarnya meliputi, dan diambil dari budaya seluruh umat manusia dan direfleksikan dalam segenap kebudayaan yang berkembang di dunia Islam, baik non material (dunia pemikiran) sampai kepada segi-segi yang material seperti arsitektur dan seni bangunan pada umumnya.
b. Makna Modernitas dan Tantangannya tehadap Iman.
Perkataan “modern” mengisyaratkan suatu penialian tertentu yang cenderung positif (berarti maju dan baik), namun hakikatnya zaman modern itu sesungguhnya bernilai netral saja. Penyebutan yang lebih tepat untuk zaman sekarang adalah “zaman teknik” dan bukan zaman modern, karena adanya peran sentral teknikalisme serta bentuk-bentuk kemasyarakatan yang terkait dengan teknikalisme itu. Dalam menghadapi modernitas hendaknya manusia tetap berpegang teguh pada iman yang murni sehingga ia tetap memiliki pegangan hidup, dan modernitas itu akan menjadi batu penguji keimanan seseorang karena sesungguuhnya seruan iman kepada manusia dalam kitab suci selalu disertai anjuran, dorongan, atau perintah menggunakan akal.
c. Relevansi Ajaran Nilai Etis dalam Al-Qur’an bagi Kehidupan Modern.
Di antara ajaran nilai etis dalam al-Qur’an adalah manusia tidak dibenarkan memutlakkan suatu apapun selain Tuhan Yang Maha Esa, manusia diciptakan sebagai makhluk kebaikan (fitrah), perbuatan baik inilah yang tujuan luhurnya adalah jalan terdekat menuju ridha-Nya. Manusia harus menyadari akan adanya Pengadilan Ilahi kelak di hari kiamat. Dalam menghadapi zaman modern yang serba kompleks ini, diperlukan kerjasama erat banyak pihak, yaitu intelektual, dedikasi, dan kesungguhan.
d. Mengahadapi Dampak Negatif Teknologi
Pada dasarnya menghadapi masalah teknologi dan kemungkinan berbagai akses negatifnya, sama halnya dengan menghadapi masalah hidup yang lainnya, kita harus beriman, beramal saleh dan saling mengingatkan sesama kita tentang yang benar, dan agar kita tabah menghadapi hidup yang takkan lepas dari problema sebagaimana yang dipesankan dalam al-Qur’an surat al-‘Ashr.
e. Islam dan Budaya Lokal.
Akulturasi timbal balik antara Islam dan budaya lokal diakui dalam sautu kaedah ushul fiqh, yakni al-‘adah al-muhakkamah, artinya adat dan kebiasaan suatu masyarakat (budaya lokal) adalah sumber hukum dalam Islam. Budaya lokal yang dapat dijadikan sumber hukum ialah yang sekurang-kurangnya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.
f. Partisipasi Kaum Muslim dalam Sosial Politik..
Partisipasi sosial politik bagi kaum Muslim adalah berakar dalam ajaran agamanya, dan bersangkutan dengan prinsip-prinsip tentang hak dan kewajiban masing-masing orang dalam masyarakat itu. Seorang Muslim harus aktif melibatkan diri dalam usaha bersama mengembangkan masyarakat yang lebih baik. Dan inilah pangkal tolak partisipasi sosial politiknya.
B. ANALISA DAN KRITIK
Dalam buku Islam Doktrin dan Peradaban Islam (Sebuah Tela’ah kritis tentang masalah keimanan, kemanusian dan kemoderenan), terlihat ciri dari pemikiran teologi Nurchalis Majid yang tidak hanya bersifat normatif, atau dengan kata lain tidak hanya menekankan apa yang seharusnya menurut ajaran agama Islam, tetapi dikaitkan dengan segi-segi peradaban Islam, Jika mungkin sebagai pembuktian historis-sosiologis, antropologis, terhadap ajaran Islam.
Pemikiran Nurcholish dalam masalah teologi menekankan pada reorientasi pemahaman keagamaan pada realitas kekinian yang empiris. Pandangan seperti itu tampak dengan jelas ketika ia menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan normatif keagamaan diusahakan dapat dilihat dalam kemungkinan pelaksanaan sosial historisnya. Sebab betapapun tingginya suatu ajaran, namun yang sesungguhnya secara nyata ada dalam kehidupan manusia dan mempengaruhi masyarakat ialah wujud pelaksanaan konkritnya dalam sejarah, yakni kehidupan sosial dan kultural manusia dalam konteks ruang dan waktu.
Penafsiran seperti ini menurut Frans Magniz Suseno, dalam persepsi Nurchalis terdapat konsep teosentrisme perlu disatu padukan dengan antroposentrisme. Manusia menemukan kepribadian yang utuh dan integral hanya jika memusatkan orientasi transendental hidup pada Allah tuhan yang maha Esa. Pemusatan orientasi transendental dalam bingkai antroposentris, melahirkan beberapa implikasi teologi inklusif dan teologi emansipatoris.[1]
Pada bab pertama buku ini jelas terlihat sikap dan semangat inklusivitas ajarannya, melalui konsep tauhid rabbaniyah-nya. Dalam konsep tersebut Nurchalis memandang bahwa tauhid atau percaya kepada tuhan Yang Maha Esa, adalah inti semua agama yang benar. Setiap pengelompokan umat manusia telah pernah mendapatkan ajaran tentang ketuhanan Yang Maha Esa melalui para Rasul Tuhan. Karena itu terdapat titik temu (kalimatun sawa) antara semua agama manusia. Pandangan Nurkhalis tersebut sejalan dengan pendapat Ibnu Taimiyah yang menyatakan bahwa “pangkal agama adalah satu yaitu al islam, meskipun syariatnya bermacam-macam”.[2]
Pengembangan titik temu ini dimungkinkan karena agama atau sikap keberagamaan yang benar, dalam paradigma Nurchalis, adalah sikap berserah diri kepada Tuhan (ber Islam), konsegwensi kepasrahan melahirkan bentuk pengakuan yang tulus bahwa Tuhanlah satu-satunya sumber otoritas yang mutlak. Paradigma inklusivitas beragama juga tampak ketika Nuchalis mengemukakan, bahwa agama Islam adalah agama kemanusiaan yang terbuka, tidak saling merendahkan derajat dan menghina antar umat beragama, karena dengan merendahkan derajat mahluk, tidak mungkin meluhurkan kekuasaan Sang khalik. Iman dan penghormatan manusia tidak saling bersaing melainkan memperkuat. Pernyatan yang sama juga diungkap oleh Masdar Farid, menurutnya terjadinya konflik dalam komunitas beragama, disebabkan agama hanya dipahami pada tatan syari’ah, agama formal, yang sudah mengenal perbedaaan terutama dari sektor bahasa (kitabsuci) dan manusia mediatornya (Rasul dan mufasir).[3] Teologi Inklusif Nurchalis, ingin memberikan formulasi bahwa Islam merupakan agama terbuka (open religion), dengan prinsip bahwa menolak ekslusivisme dan absolutisme, serta memberikan apresiasi yang tinggi terhadap pluralisme. Dengan demikian, paradigma teologi inklusif Nurchalis yang terpenting adalah adanya komitmen pada pluralisme.[4] Prinsip pluralisme agama menurut Nurchalis adalah memberikan kebebasan untuk hidup pada semua agama, dengan resiko yang ditangung oleh para pengikut agama itu masing-masing, baik secara pribadi maupun kelompok.
Selanjutnya melalui pendekatan historis Nurcholish menyatakan bahwa ada kesenjangan antara wilayah normativitas keagamaan dengan historis kehalifaan. Menurutnya Dalam al Qur’an manusia memiliki kedudukan yang tinggi tapi kenyataan historis menunjukkan bahwa manusia kehilangan fitrahnya. Dari kenyataan sejarah inilah, Nurchalis melihat pentingnya teologi emansipatoris, yaitu membebaskan manusia dari segala bentuk kepercayaan politeisme, pemberhalaan diri dan tindakan-tindakan tiranik, yang dapat merendahkan derajat manusia. Menurut Nurchalis problem utama manusia dari proses ikhtiar humanitasnya dalam teologi emansipasipatoris ada tiga yaitu; a) mengemansipasi manusia dari sikap penduaan Tuhan, suatu kepercayaan yang membuka peluang bagi kepercayaan kepada wujud-wujud yang lain yang dianggap bersifat Ilahi. sekalipun ia berpusat pada Tuhan Yang maha Esa. b) mengemansipasi manusia dari belenggu pemberhalaan diri. Sikap pemberhalaan diri dapat terwujud dalam diri seseorang jika ia kemutlakan diri dan pandangan atau pikirannya sendiri. Dengan kata lain menganggap dirinya sendiri yang benar. Sikap ini menimbulkan seseorang menjadi fanatik dan menolak segala sesuatu yang datang dari luar. c) sikap tirani vested interes, menurutnya sikap ini harus dilenyapkan sebab sistim tirani dapat menghancurkan harkat dan martabat manusia.
Di sisilain gagasan Nurchalish tentang kemoderenan dan pembaharuan Islam, adalah dititik beratkan pada gagasan ke untuk mempersatukan dan menghubungkan Islam dengan kemoderenan barat. Umat Islam harus lebih apresiatif terhadap kemoderenan barat dengan beberapa alasan; etoskerja, hasil ilmu, teknologi, dan peradaban guna memberikan inspirasi pada kebangkitan Islam.[5] Selanjutnya konsep kemoderenan dan ke Indonesiaan yang ditawarkan oleh Nurchalis dengan apresiatif dan akomodatif terhadap beberapa persoalan di Indonesia, dengan melihat bahwa konsep “kemoderenan” sebagai suatu keharusan untuk merubah pola dan prilaku muslim Indonesia kearah yang lebih maju, tanpa mengabaikan identitas sebagai bangsa Indonesia yang memiliki budaya dan tradisi yang berbeda dengan barat. Kemoderenan dipahami sebagai kesinambungan antara visi lama dengan visi baru, tradisionalitas dan modernitas bukan sebuah kontradiksi tapi suatu harmoni dalam gerakan sejarah. Kemoderenan dapat dicapai melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang di warnai oleh ruh Islam.
Dalam memberikan gagasan-gagasan kemoderenannya Nurchalis mengapresiasikan pandangan yang berimbang antara khasanah Islam klasik dengan kemoderenan, hal ini dapat ditunjukkan dari beberapa minatnya terhadap studi ilmu fiqih, serta menelusuri kembali warisan lama “khazana intelek Islam” dengan memberikan kritik terhadap pelaksanaannya, hal ini terlihat ketika ia memberikan komentar bahwa Ilmu fikih merupakan salah satu Ilmu yang banyak mempengaruhi cara pandang orang Islam, namun ia memberikan keritikan bahwa ilmu ini memiliki kekurangan yaitu hanya menitik beratkan kepada segi-segi lahiriahnya saja .
Konsep-konsep pemikiran teologi Nurkholis yang bersifat keterbukaan, kritis rasional dan mengutamakan azaz kebebasan sangat relevan untuk dikembangkan, terutama untuk konteks situasi manusia saat ini yang tengah hidup diera globalisasi yang mudah terbawa kepada situasi dan konfrontasi langsung. Karena itu sangat diperlukan sikap-sikap saling pengertian dan menemukan titik kesamaan. Pemikiran Nurchalis juga dapat menolong manusia dalam mengatasi persoalan eliensinya zaman modern ini, yaitu persoalan bagaimana melakukan kembali ciptaan-ciptaan tangannya sendiri dan bagaimana agar manusia tidak terjerembab kedalam praktik penyembahan”berhala modern”, atau selamat dari cengkraman taghut bentuk baru.
Pemikiran Nurchalis dapat meningkatkan intensitas kajian dikalangan umat Islam khususnya diperguruan tinggi. Sehingga secara perlahan memungkinkan berkembangnya visi ke Islaman umat bergeser dari ritual menjadi intelektual dan sufistik. Sosialisasi dan infiltrasi pemikiran Nurchalish telah berhasil membentuk kelompok-kelompok pemikir baru sebagai wujud dari regenerasi dikalangan generasi mudah yang akan melahirkan sosok-sosok cendekiawan muslim baru.
Ide-Ide cemerlang Nurchalis tersebut dengan bahasa yang ilmiah, hanya dapat di pahami dan diterima oleh kalangan kampus dan tidak bisa dikonsumsi oleh masyarakat awam sehingga menimbulkan pemahaman yang kurang tepat dan terjadi pro dan kontra, padahal misi dan esensinya adalah pencerahan.
KESIMPULAN
Pada era globalisasi ini umat Islam perlu memupuk rasa persaudaraan antar sesama dengan didasari atas landasan keimanan dan paham kemajemukan/pluralisme. Faham kemajemukan ini ditegakkan dengan prinsip bahwa masing-masing manusia berhak bereksistensi dan menempuh hidup sesuai dengan keyakinannya. Pandangan kepada manusia hendaknya berdasarkan prinsip optimis dan positif.
Pelaksanan ajaran Islam di Indonesia menuntut pengetahuan dan pemahaman lingkungan Indonesia, baik fisik maupun sosial budaya. Yang pada kenyataannya Indonesia bersifat heterogen dan Islam di Indonesia merupakan pendatang baru, yang sebelumnya pernah berjaya agama-agama Hindu dan Budha kemudian digantikan dengan Kristen. Dalam memahami ajaran agama Islam tidak hanya ditekankan pada aspek normatif dan dogmatis saja tapi hendaknya dikaitkan dengan aspek-aspek peradaban Islam. Ketentuan-ketentuan normatif diusahakan dapat dilihat dalam kemungkinan pelaksanaan historisnya.
Kemodernan merupakan suatu keharusan dan harus disikapi dan dihadapi oleh Muslim dengan keimanan dan aqidah Islamiyah. Semua masalah yang muncul dalam kehidupan modern ini akan teratasi dengan tetap berpegang teguh, menghayati makna, dan melaksanakan simpul-simpul keagamaan seperti takwa, tawakkal dan ikhlas dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar H. Muhammad, Pemikiran Nurchalis Majid, dalam jurnal Hunafa, no 6 vol 3, 1 April 2000.
Ibnu Taimiyah, Iqtida al Shirat al Mustaqim, Bairut : Dar al Fikr, tt
M. Syafi’i Anwar, Sosiologi Pembaharuan Pemikiran Islam Nurchalis Majid, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. I, 1993
Masdar Farid Masud, Ide Pembaharuan Cak Nu rdimata orang Pesantren, dalam Jurnal ilumul Qur’an, no 1, 1993
Lukman S.Tahir, Studi Islam Interdisipliner, Aplikasi Pendekatan Filsafat, Sosiologi, dan Sejarah, Yogyakarta : 2003.
Nurchalis Majid, Islam doktrin dan Peradaban sebuah telaah kritis tentang masalah keimanan, kemanusiaan dan kemoderenan, Jakarta : Para Madina, 1992.
[1] Lukman S.Tahir, Studi Islam Interdisipliner, Aplikasi Pendekatan Filsafat, Sosiologi, dan Sejarah, (Yogyakarta : 2003), 217.
[2] Ibnu Taimiyah, Iqtida al Shirat al Mustaqim, (Bairut : Dar al Fikr, tt), 454.
[3] Masdar Farid Masud, Ide Pembaharuan Caknurdimata orang Pesantren, dalam Jurnal ilumul Qur’an, no 1, 1993, 28.
[4] M. Syafi’i Anwar, Sosiologi Pembaharuan Pemikiran Islam Nurchalis Majid, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. I, 1993, 47.
[5] Abu Bakar H. Muhammad, Pemikiran Nurchalis Majid, dalam jurnal Hunafa, no 6 vol 3, 1 April 2000, 26.